Mengungkap Hirarki
Kitab Sorogan
Di PP. al ihya ‘ulumaddin
“By: al faqir
ila rohmatillah_ hilal musholi”
Sorogan
merupakan salah satu bentuk ngaji atau belajar yang wajib diikuti oleh semua
santri pondok pesantren al Ihya’ulumaddin tanpa terkecuali. Sementara itu kata
sorogan berpangkal dari kata sorog yang berarti menyodorkan dan mendapat
akhiran “an”. Yaitu penagajian dengan cara santri menyodorkan kitab yang akan
dikaji kepada guru atau ustadnya minta untuk dibacakan oleh unstadnya, kemudian
secara individu santri membaca kitab tersebut sesuai dengan bacaan unstadnya.
Menurut
beberapa sumber cerita demi cerita yang penulis peroleh, idealnya pengajian
kitab sorogan ditempuh dengan waktu tiga tahun (begiti pula yang termaktub
dalam buku agena santri) dengan jumlah kitab yang harus dikaji sekitar sebelas
(11) kitab. Artinya dalam seitap satu tahunnya paling tidak santri harus
menghatamkan tiga macam kitab. Bukan persoalan yang tidak mungkin digapai
memang bagi santri yang sudah menghiasi diri dengan kemampuan gramatikal arab.
Akan tetapi bagi santri baru agaknya kesulitan bila harus menghatamkan 3 kitab
dalam satu tahunnya. Terlepas dari permasalahan tersebut sesulit apapun
problematika pasti ada sulusinya.
Pengajian
kitab sorogan bertujuan agar santri mampu membaca kitab kuning dengan benar
sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, mengafal atau memperbayak kosa kata,
memahami isi kitab serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, selain
itu diharapkan santri juga tidak canggung dalam menghadapi problematika yang
berkembang dimasyarakat. Namun ada dimensi lain yang dalam pandangan penulis
belum pernah tersentuh yaitu ada apa dibalik runtutan sederet kitab-kitab
tersebut, dimulai dari kitab bajuri sanusiah samapai penghujung kitab sorogan
yakni kitab fathul qoriibil mujiib. Kenapa urutan kitab sorogan adalah bajuri
sanisiah, safinatunnajah, qotrul ghoist, durorul bahiyah, tijan duror,
sulamunnnajat, sulam attufiq, bidayatul hidayah, at taqrib, ta’limul
muta’allim, dan yang terakhir fathul qoriibil mujiib. Maka dari itu pada
kesempatan ini penulis mencoba menorehkan argumentsi tentang hal tersebut.
Dalam hal ini penting agar menjadi bahan koreksi dan analisis kritis terhadap
sistematisasi input keilmuan pada
diri masing-masing pribadi.
Kita
mulai dari the first of kitab “bajuri
sanusiah” buah karya syeh ibrohim as sanusi. Pertanyaan besar menimpa dalam
diri penulis, “kenapa kitab yang pertama adalah kitab bajuri sanusiah bukan
kitab yang lain?”. Telusur demi telusur dilakukan dalam rangka menjawab yang
mengganjal di hati
ini. Hingga akhirnya menemukan sebuah jawaban bahwa kenapa kitab bajuri
sanusiah adalah secara materi kitab ini mengkaji tentang ilmu teologi atau
ketuhanan, didalamnya dijelaskan sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah
beserta dalil-dalilnya. Materi ini disajikan dalam bentuk tesis anti tesis yang
begitu memanjakan pembacanya serta mudah untuk dipahami. Pada sudut lain secara
syar’i setiap orang mukalaf wajib menetahui tentang itu guna menguatkan
i’tiqodnya terhadap Tuhan Yang Maha Esa Allah ‘Azza Wajalla. Dari sisi ini
dapat ditarik kesimpulan bahwa kitab bajuri sanusiah sebagai basic atau pondasi awal penguatan
keimanan kepada Allah SWT. Sebagai wujud dari persaksian laa illa ha illalloh karena iman kita tidak mungkin akan kuat
katakanlah sekuat baja sebelum kita mengatahui siapa itu allah, apa
sifat-sifatnya, bagaimana kinerjanya dan lain sebagainya. Inilah salah satu
alasan kenapa kitab ini menempati prioritas urutan pertama dalam kitab sorogan.
Kitab
safinatunnajah karya syeh salim ibnu samir alhadlromiyi ditempatkan pada urutan
kedua karena secara umum kitab ini mengkaji tentang ushuluddin dan fiqih. Ini
berarti masih memiliki relasi dengan kitab yang pertama (bajuri sanusiah). Kita
gambarkan antar keimanan dengan agama merupakan suatu yang tidak bisa
dipisahkan karena bentuk iman mengiterpretasikan agama, agama mengatur tatanan
kehidupan kemasyarakatan. Bila dirasionalkan kitab yang pertama menjelaskan
penguatan keimanan maka tepat sekali yang dikaji setelahnya kitab safinah
dengan alasan ketika keimanan sudah kokoh kemudian dilanjutkan dengan
pengetahuan tentang ushuluddin dan fiqih sebagaimana kita tahu bahwa dalam
fiqih ada dimensi ubudiyah serta kaifiyah-kaifiyahnya maka ini adalah bentuk
pengabdian kita terhadap allah SWT. Sedang ushuluddin merupakan pokok dasar
agama. Jadi ketika iman telah kokoh maka tahapan selanjutnya adalah kosekuensi
dari iman tersebut hendaknya diwujudkan sesuai dengan koridor-koridor
ushulluddin dan fiqh.
Kitab qotrul ghoist karya syeh
muhammad nawawi al jawi, kitab ini mensyarahi kitab masail karya as syeh al
imam abi laist. Kitab tersebut menjelaskan rukun iman dan kaifiyah-kaifiyahnya.
Disajikan dalam bentuk masail dan jawaban-jawaban fungsinya adalah untuk mengcounter terhadap ussuludin atau
keyakinan yang bersifat kasap mata sekaligus sebagai hujjah terhadap mereka
yang tidak percaya akan adanya itu. Kenapa dikatakan sebagai hujjah, karena
didalamnya dijelaskan bagaimana caranya iman kepada allah, iman kepada
malaikatnya, iman kepada rosul, iman kepada kitab, iman kepada qodlo dan qodar,
dan iman kepada hari akhir. Inilah sekiranya statemen kenapa kenapa kitab
qotrul goist menempati urutan ketiga.
Kitab durorul bahiyah, ditulis oleh Sayid
abi Bakar ibnu Sayid Muhammad Syatho
Adimyati dengan konten materi terfokus pada apa kewajiban seorang mukallaf ditinjau dari ilmu-ilmu
syar’iyyah. Baik yang bersifat pribadi dalam artian dilaksanakan oleh diri
sendiri, maupun yang dilaksanakan bersama-sama dengan orang disekitarnya. Akan
teTapi kitab ini tetap menekankan pada nilai fiqih ubudiyahnya. Hal ini
merupakan salah satu bentuk pendalaman dan penguatan dari apa yang sudah
dilandaskan oleh kitab-kitab sebelumnya karena didalamnya dijelaskan ahkamu
syar’iyah, tendensi terpenting dalam iman serta ubudiyah.
Kitab tijanud durori karya dari as
syeh muhammad nawai al jawi, merupakan syarah dari kitab Risalah fiettauhid
karya syeh ibrohim al bajury. Melihat konten materinya yaitu tenteng tahid
maka kitab ini merupakan kelanjutan dari kitab yang pertama dan yang ketiga,
Cuma bedanya kitab tijan ini pembahasannya lebih spesifik pada sifat wajib,
mustahil, dan jaiz bagi allah SWT. beserta dengan dalil atau bukti dari
sifat-sifat tersebut. Menujukan bahwa persoalan keimanan pada tingkat ini buka
bukan hanya sekedar i’tikod atau batiniah, mengetahui kaifiyahnya saja akan
tetapi kita juga mengetahui bukti-bukti konkrit atas apa yang kita imani.
Dengan demikian dapat ditarik sebuah
pemahaman dari rentetan kempat yang pertama ini lebih memfokuskan pada hakekat
keimanan yang kemudian dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam
bentuk riil ibadah. Maka setelah pondasi keimanan ini kukuh kitab selanjutnya
akan lebih spesifik pada bagaimana mengapai keslamatan, mendapatkan
pertolongan, bercinta dengan sang holik bahkan fiqihnyapun akan menjadi fiqih
yang tasawuf ala kaum suni (ahlu sunnah wal jama’ah). Kita lihat saja kitab
sullamunnjat karya syeh nawawi bin umar al bantani yang mnsyarahi kitab
safinnatusholah karyasayid abdulloh bin umar bin yahya al hudlorimi. Kitab ini
spesifik membahas tentang sholat berserta dayang-dayangnya (syarat, rukun, dan
da’a pada setiap gerakannya) kalu tadi diatas kita tahu bahwa pembahasan
saholat dalam kitab sebelumnya secara detail, nah disinilah dikupas tuntas
tentang sholat. Yang mana sholat merupkan salah satu cara kita berkomunikasi
denganNya.
Selanjutnya kitab sullamut taufiq
karya syheh muhammad nawawi. Isi materi meninitik berat kan bagimana mahabbah
pada sang holik dan sebaliknya. Secara umum kitab ini mengajarkan kita untuk
mawas diri dari belenggu sifat tercela yang dapat menghalangi tingkat
ketercapaian ibadah kepada allah SWT. Dan merusak hal terpenting dari iman yang
telah kita pupuk semenjak usia dini. Disini sudah diwarnai ibadah yang bukan
sekedar ibadah akan tetapi yang murni karena allah bukan karena yang lain.
Sekaligus dalam kitab ini sudah didasari nilai-tasawuf. Kemudian disambung
dengan kitab bidayatul hidayah karya hujjatul islam abu hamid muhammad bin
muhammad bin muhammad al ghozali. Didalamnya diterangkan bagaimana kita
bersosialisasi dengan Allah. Pantas lah kitab ini dimasukkan dalam urutan kitab
yang kesekian karena boleh dikatakan kitab ini memang ajangnya evaluasi diri
ternadap ibadah yang kita lakukan mulai dari bangun pagi sampai tidur lagi,
Apakah dalam sederet aktifitas kita suadah benar sesuai dengan tuntunan agama.
Kemudian setelah hal terpenting dari
iman katakanlah telah selesai berserta pendalamannya, dan kita tahu bahwa
setiap perbuatan atau tingkah laku manusia pasti tuntunan yang jelas dari agama
maka kiranya kita tahu tentang hal ini. Dari awal kita telah didasari tentang
fikih. Maka sebagai pembuka sebelum kita merangka ke fikih dalam tingkat yang
lebih tinggi, kita perlu kita mengakaji pembahasan fikih secara global yang
termaktub dalam kitab taqrib karya syeh ahmad ibnu husain.
Kitab ta’limul muta’allim ditulis
oleh syeh zarnuji. Secara umum Menrangkan tentang adab dalam belajar mengajar.
Kenapa kitab ini ditempatkan pada kedua kitab menjelang akhir?, meminjam sebuah
maqolah “tiada hal yang lebih utama setelah melaksanakan beberapa ibadah fardu
kecuali mencari ilmu”. Maka dari itu penting kita mempelajari kitab ini agar
dalam belajar kita menjadi terarah dengan benar dan menggapai ilmu yang
bermanfaat dan berkah. Didalamnya bukan hanya sekedar membahas tentang adab
tetapi terkandung juga motivasi untuk selalu berkarya, memperbaiki diri, guna
meraih insan yang berakhlakul karimah. Kaitan nya dengan tata urutan kitab
sorogan adalah kalau dalam kitab bidayatul hidayah dijelaskan bagaimana bersosialisai
dengan allah maka dalam kitab ta’lim adalah sosialisasi pada sesama. Bahwa
dalam sosialisasi dengan sesama dalam hal ini adalah belajar membutuhkan
kerangka atau format yang tepat.
Dan yang terakhir adalah kitab
fathul qoriibil mujiib karya syeh symsudin abu ‘abdillah muhammad bin qosim
assyafi’i, merupakan syarah dari kitab tqrib. Dalam kitab ini dijelaskan secara
detail persoalan-persaoalan fiqih. Sebagai pelengkap dari kitab kitab fiqih
sebelunya. Ini lah sekiranya kenapa kitab ini ditempatkan diakhir karena
sifatnya adalah pendalaman. Sebagaimana telah menjadi rahasia umum bahwa
masalah selalu up to date kapanpun
dan dimanapun maka inilah pentingnya kita mempelajari kitab ini agar kita
terjerumus dalam jurang keharaman. Karena diawal memang kita telah
diwanti-wanti kitab yang serat akan makna tasawauf.